MERETAS JALAN PERDAMAIAN BANGSA PALESTINA

MERETAS JALAN PERDAMAIAN BANGSA PALESTINA

Oleh Ir. Sayuti Asyathri

Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, Palestina termasuk salah satu bangsa yang sarat dengan sejarah konflik. Konflik ini berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang dan mengakar kuat, bagaikan tumor yang sudah kronis sehingga terasa sulit disembuhkan. Namun demikian, perlu ada optimisme, bahwa masalah serumit apapun pastilah ada jalan keluarnya, termasuk penyelesaian konflik di Palestina ini. Guna meretas kemungkinan untuk membangun perdamaian di wilayah Palestina diperlukan apresiasi yang serius terhadap akar masalahnya. Diperlukan pemahaman masalah yang utuh, menyeluruh, obyektif, proporsional dan berkeadilan sehingga diperoleh jalan keluar yang lebih permanen, meskipun hal ini diakui tidaklah mudah.

Dalam konteks itu, setidaknya ada dua hal yang perlu ditegaskan dan dielaborasi agar menjadi kerangka pemikiran universal. Pertama, kita perlu mempertegas kembali cara pandang kita terhadap sejarah konflik tersebut yang saat ini telah menjadi komoditas dunia internasional. Artinya, ada fakta-fakta sejarah yang perlu mendapat perhatian serius, tetapi ada pula fakta sejarah yang perlu diabaikan karena kurang memberi kontribusi dalam proses penyelesaian konflik di Palestina itu.

Kedua, perlu ada upaya secara sungguh-sungguh untuk membenamkan dan membungkam agenda-agenda semu dan manipulatif agar energi bangsa Palestina, dan masyarakat internasional pada umumnya, dapat diarahkan pada upaya-upaya penyelesaian masalah secara adil, riil dan bisa diterapkan. Berbagai perundingan yang telah dilakukan, dan umumnya tidak memberi hasil memuaskan, perlu dipahami ulang secara kritis, sehingga bisa dirumuskan jalan baru yang lebih adil, proporsional dan kongkrit.

Sejarah Konflik

Konflik di wilayah Palestina memiliki sejarah yang panjang. Setidaknya sejak awal-awal abad ke-20 hingga kini, wilayah Palestina memiliki tiga definisi. Pertama, wilayah yang ditetapkan berdasarkan “British Mandate of Palestine” yang diotorisasi oleh Kovenan Liga Bangsa-Bangsa pada 1920. Wilayah Palestina berada di antara Laut Mediterania, Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, serta Mesir. Ia meliputi wilayah yang kini dikenal sebagai Kerajaan Yordania, Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.

Kedua, wilayah yang ditetapkan berdasarkan Resolusi 181 Majelis Umum PBB yang dikeluarkan tahun 1947. Wilayah Palestina di atas (minus Yordania yang pada 1946 diberikan Inggris kepada Dinasti Hasyimiah) dibagi menjadi dua bagian, yaitu “Israel” yang dideklarasikan sebagai negara Yahudi dan “Palestina” sebagai negara Arab. Dalam pengertian Resolusi 181 ini, wilayah Palestina mencakup Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.

Ketiga, wilayah Palestina menurut Israel. Negeri zionis ini hanya mengakui “Palestina” sebagai Tepi Barat dan Jalur Gaza, minus Yerusalem Timur yang mereka aneksasi pasca Perang 1967 serta minus 10,2% wilayah di Tepi Barat yang sekarang berubah menjadi pemukiman-pemukiman Yahudi. Parlemen Israel memutuskan bahwa Yerusalem tidak untuk dibagi dengan Palestina. Dengan demikian, yang disebut ‘Palestina’ sekarang ini hanyalah 22% (versi PBB) atau 12% (versi Israel) dari tanah historis Palestina.

Berbeda dengan Israel yang sudah merdeka, bangsa Palestina harus berjuang keras untuk memperoleh kemerdekaannya sebagai bangsa yang berdaulat, memiliki pemerintahan sendiri dengan batas-batas wilayah yang jelas. Ketika Israel diproklamasikan pada 14 Mei 1948, sehari kemudian negara-negara Arab menyerang Israel, seperti Suriah, Yordania, Mesir, Irak dan Libanon. Namun peperangan ini dimenangkan Israel, bahkan akhirnya merebut 70 % dari total wilayah daerah mandat PBB Britania Raya. Akibat perang ini, banyak bangsa Palestina terusir dan harus mengungsi dari daerahnya sendiri. Sebanyak 80% penduduk asli Palestina non-Yahudi diusir dari wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai “Israel”. Warga non-Yahudi yang tersisa di Israel hidup sebagai warga negara kelas dua. Berdirinya Israel ini seakan meniscayakan perilaku diskriminatif dan non-egaliter rezim Zionis terhadap warga non-Yahudi.

Proses berikutnya merupakan riwayat panjang penuh konflik antara Israel dan Palestina. Para pemimpin Palestina harus melakukan perjuangan di luar tanah airnya sendiri dibawah kepemimpinan Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Bahkan negara Palestina, yang kemudian diproklamasikan, justru diumumkan berdirinya di ibukota Aljazair pada 15 November 1988. Meskipun belum memiliki wilayah geografis yang jelas, pendirian negara ini dimaksudkan untuk lebih mengikat dan menyatukan penduduk Palestina yang terdiri dari beragam etnis ke dalam satu wadah, yaitu negara Palestina. Dalam pengumuman itu ditetapkan Yerussalem Timur (akan) ditetapkan sebagai ibukota negara, daerah yang dikuasai Israel.

Upaya penduduk Palestina untuk memperoleh wilayah kediaman yang tetap, melalui gerakan Intifadah, tentu saja mendapat perlawanan yang keras dari pemerintah Israel. Berbagai kekerasan, peperangan, pembunuhan, kekacauan dan pembantaian terus berlangsung, korban jiwa rakyat Palestina terus berjatuhan, termasuk di kalangan ibu-ibu dan anak-anak yang tidak berdosa. Kekejaman tentara Israel terhadap penduduk yang lemah dan tidak bersenjata jelas merupakan praktek yang melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Solidaritas dan dukungan internasional, khususnya dari negara-negara muslim, terus mengalir kepada Palestina. Sementara Israel mendapat protes dan kecaman.

Jalan Damai yang Buntu

Berbagai upaya untuk meredakan ketegangan terus juga dilakukan melalui berbagai negosiasi dan perundingan. Bagi pemimpin Palestina, jalan damai ini juga ditempuh untuk lebih mempertegas kedudukannya sebagai negara berdaulat. Berbagai pihak juga ikut terlibat dalam upaya menemukan jalan damai ini, namun hasil yang dicapai umumnya tidak memuaskan, khususnya bagi upaya-upaya Palestina memperoleh kedudukan penuh sebagai negara merdeka yang berdaulat atas wilayahnya.

Kesepakatan Oslo yang ditandatangani tahun 1993 oleh pemimpin PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin, dan disaksikan Presiden AS Bill Clinton, semula disambut optimis oleh banyak pihak. Untuk pertama kalinya, kedua belah pihak yang bertikai membuat kesepakatan untuk mengakui adanya dua negara. Namun dalam perundingan ini, banyak masalah tidak terpecahkan, antara lain:

–        Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusssalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari negara Palestina yang diusulkan.

–        Keamanan Israel.

–        Keamanan Palestina dan hakekat masa depan negara Palestina.

–        Nasib para pengungsi Palestina.

–        Kebijakan-kebijakan pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu.

–        Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerussalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks Tembok (Ratapan) Barat.

Setelah perundingan ini, Israel tetap melanjutkan politik pendudukannya dan meneruskan kebijakan penindasan dan penyerangannya. Perundingan Oslo ini dinilai banyak pihak sebagai “permainan taktik” belaka yang dilakukan Israel.

Tahun 2002 diusulkan peta menuju perdamaian oleh empat serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat. Israel telah menerima peta itu namun dengan 14 “reservasi”. Pemerintah Israel akan menarik kehadiran sipil dan militer di jalur Gaza, namun tetap akan mengawasi dan mengontrol kantong-kantong eksternal di darat, kontrol ekslusif wilayah udara Gaza dan kegiatan militer di wilayah laut Jalur Gaza. Rencana ini jelas menunjukkan sikap “setengah hati” Israel untuk melepaskan daerah pendudukannya. Belum lagi, banyak orang Israel tidak setuju dengan penarikan pasukan di jalur Gaza, karena dikhawatirkan akan meningkatkan serangan roket ke kota-kota Israel di jalur Gaza.

Begitu pula perundingan Annapolis yang disponsori Amerika disambut dingin oleh penduduk Palestina. Ratusan ribu massa Palestina di jalur Gaza turun ke jalan menentang konferensi ini. Menyikapi perundingan ini, Ketua Parlemen Palestina, Dr. Ahmad Bahr mengatakan: “Kami berjanji kepada Allah, kemudian kepada bangsa kami, bahwa kami tidak akan menerima apapaun solusi persoalan Palestina kecuali dengan pembebasan tanah air kami dan tempat-tempat suci serta kembalinya para pengungsi ke tanah air mereka yang dulu mereka diusir darinya tahun 1948. Kami juga tidak akan menjual sejengkal tanahpun kota Al-Quds bersama tanah-tanah lainnya, rumah, Masjid Al-Aqsha dan semua tempat-tempat suci, baik milik Islam maupun milik Kristen. Allah Ta’ala sebagai saksi atas apa yang saya ucapkan.” Pernyataan ini jelas menunjukkan apa yang sesungguhnya diinginkan oleh elit Palestina tidak mungkin bisa dicapai dalam perundingan Annapolis ini.

Jalan Lain

Atas berbagai kegagalan usaha damai itu, tidak sedikit pihak mulai pesimis atas munculnya perdamaian antara Palestina-Israel, karena sulitnya mempertemukan kesamaan pandangan dan syarat-syarat yang disepakati bersama. Hal ini makin dipersulit lagi oleh adanya perbedaan yang cukup tajam di kalangan internal masing-masing, baik di dalam elit Palestina maupun Israel sendiri, antara garis yang moderat dengan kelompok yang lebih ekstrim. Kegagalan demi kegagalan dalam perundingan seakan memperkuat kesan bahwa perundingan tersebut lebih bersifat rutinitas belaka tanpa tujuan yang jelas. Kegagalan tersebut juga kian mempertegas adanya upaya-upaya untuk memperpanjang proses penguasaan wilayah Palestina oleh Israel, yang sepenuhnya didukung oleh kepentingan Barat.

Dalam situasi semacam itu, banyak pihak mulai meragukan ketulusan Israel untuk memenuhi keinginan Palestina memiliki negara yang utuh dan berdaulat. Amerika Serikat yang terlibat begitu jauh dalam proses ini dituduh memiliki agenda-agenda sendiri. Pemerintah Amerika memiliki standar ganda atas masalah ini. Di satu sisi dia menganjurkan perdamaian, namun pada sisi lain diapun tidak melakukan langkah-langkah nyata untuk menghentikan kekerasan dan kekejaman yang dilakukan Israel terhadap penduduk Palestina. Bahkan acapkali serangan-serangan Israel dibenarkan sebagai bentuk pembelaan untuk melawan terorisme. Banyak yang percaya bahwa Israel perlu tetap menguasai wilayah-wilayah Palestina untuk membatasi meluasnya gerakan terorisme yang dituduhkan Barat kepada kelompok-kelompok garis keras di Palestina. Pandangan-pandangan semacam ini tentu saja makin menyulitkan terciptanya perdamaian di wilayah Palestina ini.

Dalam konteks itu, dukungan masyarakat internasional terhadap perjuangan Palestina perlu dioptimalkan dan diarahkan setidaknya kepada tiga hal. Pertama, bangsa Palestina harus dibebaskan dari komoditas politik Amerika Serikat. Selama ini Amerika Serikat telah menggunakan isu Palestina sebagai jalan masuk untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya di wilayah tersebut, dan Timur Tengah pada umumnya. Dominasi Amerika dalam urusan ini harus dikurangi. Perlu diingat bahwa kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintah Amerika Serikat tidaklah selamanya merupakan cerminan atau pandangan dari masyarakat sipil Amerika sendiri. Tekanan publik dalam negeri Amerika terhadap pemerintahnya sedikit banyak ikut berpengaruh pada pilihan politik luar negeri negara ini. Pemerintah baru Amerika Serikat diharapkan dapat mengambil jalan lain yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia dalam menyelesaikan konflik Palestina.

Kedua, perlunya tekanan yang lebih kuat dari masyarakat internasional kepada Israel atas dasar penghormatan terhadap prinsip-prinsip universal hubungan antar negara yang bersifat anti penindasan, anti penjajahan dan menentang segala bentuk kolonialisme. Apa yang dilakukan Israel terhadap wilayah-wilayah Palestina jelas merupakan bentuk kolonialisme yang terjadi di jaman modern ini. Hak hidup suatu bangsa haruslah dihormati oleh bangsa lain. Bangsa Palestina, secara historis, memiliki hak penuh atas wilayahnya yang diduduki Israel.

Ketiga, bebaskan bangsa Palestina dari penjara terbesar di dunia yang dibangun oleh Israel. Antara daerah Israel dan daerah-daerah Palestina dibangun suatu tembok pemisah oleh Israel. Tembok ini didirikan dengan alasan untuk menanggulangi kemungkinan bom bunuh diri yang dilakukan oleh relawan Palestina. Namun keberadaan tembok pemisah ini dikecam karena mengganggu kehidupan penduduk Palestina. Pada sisi lain, dibangunnya tembok ini mencerminkan kerakusan Israel untuk mencaplok daerah yang statusnya belum begitu jelas.

Di samping langkah-langkah tersebut, ada juga usulan lain yang perlu diapresiasi. Yaitu, mengimplementasikan hak pulang para pengungsi Palestina, sebagaimana diamanatkan Resolusi PBB. Ini adalah syarat fundamental bagi tercapainya keadilan sekaligus menjadi prasyarat mutlak bagi perdamaian di antara komunitas-komunitas. Hak pulang juga harus mengakui hak untuk mendapatkan pemulihan dari efek-efek destruktif selama kolonisasi Zionis.

Selama perang Timur Tengah I, segera setelah berdirinya negara Israel 1948/49, hampir 700.000 warga Palestina meninggalkan tanah airnya dan mengungsi ke negara-negara tetangga. Sebagian besar ditampung di kamp-kamp pengungsi di Yordania, Suriah, Libanon atau Jalur Gaza yang ketika itu di bawah administrasi Mesir. Jumlah pengungsi Palestina berkembang dari sekitar 700.000 menjadi hampir 5 juta orang, lewat pertumbuhan alami dan gelombang pengungsi kedua, seusai Perang Enam Hari tahun 1967. Di beberapa negara, para pengungsi ini bisa berbaur dengan penduduk setempat, namun di beberapa tempat lainnya mereka tetap jadi orang asing. Di wilayah Gaza, kehidupan pengungsi bahkan memburuk dari hari ke hari, terutama karena adanya eskalasi kekerasan dan boikot internasional terhadap Hamas. Kehidupan pengungsi ini tentu harus mendapat perhatian lebih serius lagi dari badan-badan dan masyarakat internasional, setidaknya karena alasan kemanusiaan.

Dalam upaya meretas jalan perdamaian, ada pula usul lainnya, yaitu menetapkan status pengelola kota suci Yerussalem. Kota ini telah menjadi sumber persengketaan yang tajam antara Palestina dan Israel. Siapakah yang memimpin Yerussalem ini, Israel atau Palestina? Israel menganut ideologi zionis. Sepanjang ideologi ini tidak ditinggalkan, maka mereka akan tetap tidak bisa menghormati hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan dan perdamaian abadi. Dalam konteks ini, Yerussalem tidak mungkin dikuasai menurut jalan yang diskriminatif.

Maka, pilihan kepada pemerintahan muslim Palestina lebih tepat. Dalam sejarah, pemerintahan muslim yang adil dan benar telah diterima oleh mereka yang non muslim. Prinsip ini bisa diterapkan dalam kasus Yerussalem ini. Harun Yahya, intelektual terkemuka kelahiran Ankara Turki, menyatakan bahwa kaum muslimin tidak pernah mengabaikan Yerusalem atau menerima kota suci ini sebagai “Ibu Kota Abadi Israel.” Oleh karena itu, pemecahan yang paling masuk akal adalah Yerusalem Timur yang diperintah oleh sebuah badan pemerintahan Palestina, tapi di bawah arahan sebuah badan di mana anggota ketiga agama diwakili dan sejajar kedudukannya, sebagai kota merdeka dan bebas senjata. Tentu saja, pemerintah ini harus hidup dan menjalankan etika agama mereka masing-masing. Dalam Yerusalem seperti ini, orang-orang Kristen dan Yahudi akan merdeka, demikian pula orang-orang Islam. Menurutnya, rencana ini memegang kunci ke arah keselamatan sejati bagi Palestina dan Timur Tengah.

Gagasan lain yang juga penting dipertimbangkan adalah terlaksananya referendum. Referendum dilaksanakan bagi semua yang hidup di tanah historis Palestina, baik yang muslim, kristen maupun Yahudi, baik yang ada di tanah historis Palestina maupun yang di perantauan, termasuk mereka yang diusir darinya sejak 1948. Referendum ini akan membentuk sebuah negara demokratis yang berdiri di atas prinsip kesetaraan dalam hak-hak sipil, politik, sosial, dan budaya bagi setiap warga negara.

Referendum ini menuju pada “solusi satu negara”. Pemerintah Iran, juga pemikir-pemikir Yahudi seperti Noam Chomsky dan Uri Avnery,  memandang solusi ini sebagai yang terideal, meskipun bukan yang ‘realistis’. Bahkan Iran pernah mengajukan solusi ini secara resmi, baik dalam forum PBB maupun OKI. “Solusi dua-negara” (two-state solution), seperti yang konon berlaku sekarang, bahkan dipandang banyak aktivis hak asasi manusia sebagai sebuah halusinasi, mengingat karakter rasis dan apartheid rezim Zionis. “Solusi satu-negara” melalui referendum dipandang sebagai penyelesaian yang paling beradab bagi semua pihak tetapi jelas tidak bagi rezim rasis Zionis.

Israel tentu saja bisa menghitung opsi ini.  Jika pengungsi yang berjumlah 5 juta dikembalikan, digabung rakyat Palestina yang sekarang tinggal di kawasan Israel, kemudian jika dilihat dari pertumbuhan penduduk Palestina yang lebih cepat dibanding Yahudi, Israel kemungkinan akan kalah suaranya. Opsi referendum ini mungkin ditolak Israel. Namun, jika gagasan ini disponsori oleh badan dunia, terutama PBB, serta didukung oleh masyarakat internasional secara kuat, bukan mustahil langkah ini bisa diwujudkan.

Demikian, beberapa langkah penyelesaian di atas merupakan pilihan-pilihan yang hanya bisa efektif jika dilihat sebagai satu kesatuan gerak dan langkah. Negara Indonesia, sebagai salah satu pendukung utama perjuangan rakyat Palestina, harus lebih pro aktif untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan internasional. Bersama-sama dengan kekuatan internasional lainnya, Indonesia bisa memulai untuk merintis jalan baru tersebut menjadi kenyataan di lapangan.

 

Jakarta, 15 Mei 2008

Ir. Sayuti Asyathri, Wakil Ketua Komisi II DPR RI